Perjalanan karier para perwira Kopassus tersebut, hubungan mereka dengan dunia intelijen Indonesia, peranan mereka di daerah konflik, terutama di Aceh.
Ke manakah para perwira militer kopassus yang dulu terlibat dalam penculikan aktivis tahun 1997-1998? Apakah mereka masih memiliki karier militer setelah menjadi terpidana? Apakah mereka masih terkait dengan gerakan politik mantan komandan mereka, Prabowo?
Seperti apa karier mereka di militer dan politik saat ini?
Made Supriatma, seorang peneliti dan wartawan lepas, mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dalam artikelnya yang berjudul "Melacak Tim Mawar" yang dimuat di situs harian Indoprogress, Selasa (27/5/2014).
Adapun harian Indoprogress dalam situsnya menyebut bahwa visi-misinya antara lain adalah anti-kapitalisme, anti-militerisme, serta pro kesetaraan gender dan seksual.
Berdasarkan penelitian Made lewat pelacakan berita media massa dan wawancara dengan sejumlah sumber yang dia sebut informan yang tidak mau jati diri mereka diidentifikasi, para penculik itu, yang dikenal sebagai anggota Tim Mawar dari Kopassus, ternyata tidak menanggung akibat berarti dari tindakan kriminal yang pernah mereka lakukan.
Selain Prabowo Subianto yang akan maju sebagai calon presiden dalam pemilu presiden pada 9 Juli mendatang, ada 10 nama perwira Kopassus lain yang disebut Made dalam laporannya itu. Setelah proses pengadilan yang penuh teka-teki, beberapa dari mereka memang dihukum pidana penjara, tetapi tidak dipecat. Pemecatan hanya dialami komandan tim, yaitu Mayor Inf Bambang Kristiono.
Made menegaskan dalam kesimpulannya bahwa sepak terjang para perwira itu dalam kasus kasus penculikan tersebut memang menimbulkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban, tetapi satu hal yang tegas dan jelas, yaitu mereka ternyata tetap menikmati karier militer yang sangat bagus sekalipun telah melakukan perbuatan pidana yang sangat tercela.
Tulisan Made itu menyoroti empat hal, yaitu perjalanan karier para perwira tersebut, hubungan mereka dengan dunia intelijen Indonesia, kemungkinan peranan mereka di daerah konflik, terutama di Aceh, dan terakhir hubungan mereka dengan mantan komandan mereka, Prabowo Subianto.
Made menemukan, ternyata perjalanan karier para perwira yang terkait dengan kasus penculikan itu sangat lancar. Kecuali Bambang Kristiono yang dipecat, yang lain mendapatkan promosi jabatan di atas rata-rata rekan seangkatan mereka di Akademi Militer.
Bambang, kata Made, setelah dipecat, hidupnya bergantung pada Prabowo. Ia diberi pekerjaan di perusahaan milik Prabowo dan kemudian masuk Partai Gerindra, partai bentukan Prabowo.
Beberapa yang lain, menurut Made, ada yang berpangkat kolonel dan tinggal selangkah lagi menjadi perwira tinggi (brigadir jenderal). Beberapa dari mereka, setelah kasus penculikan itu terkuak, tetap berkarier di intelijen. Muchdi Purwopranjono pernah mengisi posisi di Badan Intelijen Negara (BIN) dan kemudian diduga berperan dalam kematian aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir bin Thalib.
Chairawan Kadarsyah Nusyirwan, setelah dari Kopassus, bertugas di Badan Intelijen Strategis (BAIS). Empat orang lain, yaitu Yulius Selvanus, Nugroho Sulistyo Budi, Dadang Hendra Yuda, dan Fauka Noor Farid, terus bergelut dalam dunia intelijen di komando-komando teritorial TNI AD.
Laporan Made juga mengungkapkan bahwa sebagian perwira itu juga memiliki karier yang terkait dengan konflik Aceh.
Chairawan menangani Aceh saat dia di BAIS. Ia menjadi Danrem di sana, kemudian menjabat sebagai Kaposwil BIN. Perwira lain yang juga berkarier di Aceh adalah Djaka Budi Utama, yang mulai sebagai Komandan Batalyon dan terakhir menjabat sebagai Asisten Intelijen Kodam Iskandar Muda.
Fauka Noor Farid juga pernah bertugas di Aceh sebagai Komandan Pasukan Detasemen Pemukul (Denkul). Mengingat gejolak di Aceh sebelum perjanjian Helsinki, besar kemungkinan perwira-perwira yang lain juga bertugas di Aceh.
Made juga menemukan bahwa mereka yang tidak aktif lagi di dunia militer bergabung dengan Partai Gerindra dan menduduki jabatan penting dalam partai itu atau dalam bisnis yang dimiliki Prabowo. Muchdi mendirikan Gerindra bersama Prabowo. Walau ia kemudian keluar dari partai itu, Muchdi diragukan telah berseberangan dengan Prabowo, adik kelas yang kemudian menjadi patronnya.
Chairawan juga langsung bergabung dengan Prabowo begitu pensiun dari tentara. Begitu juga dengan Bambang Triono dan Fauka Noor Farid yang bergabung dengan Gerindra. Dalam kampanye Pemilihan Umum legislatif 2014, Chairawan sangat aktif berkampanye untuk Gerindra di daerah yang telah lama menjadi spesialisasinya, Aceh.
(Artikel lengkap silakan baca di Melacak Tim Mawar)
0 komentar :